Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Dalam beberapa hari terakhir, sektor penerbangan India telah diguncang oleh sebuah krisis operasional yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang berpusat pada maskapai penerbangan domestik terbesar di negara itu, IndiGo. Ratusan, bahkan ribuan, pembatalan dan penundaan penerbangan yang meluas telah menyebabkan kekacauan di bandara-bandara utama di seluruh negeri—dari Terminal 1 Bandara Internasional Indira Gandhi di Delhi hingga pusat-pusat penerbangan padat di Mumbai, Bengaluru, dan Hyderabad.

Bentuk syukur terbaik untuk almamatemu. Isi survey singkat di sini
EDUopinions

Situasi ini bukan sekadar ketidaknyamanan biasa, melainkan sebuah kelumpuhan sistemik yang menguak masalah mendalam dalam manajemen operasional, perencanaan kru, dan mungkin yang paling mengkhawatirkan, sikap maskapai terhadap standar keselamatan yang baru. Krisis ini, yang telah memasuki hari-hari berturut-turut dengan tingkat gangguan yang signifikan, menuntut analisis yang cermat mengenai akar penyebab, dampak yang meluas, dan perlunya akuntabilitas yang tegas dari regulator penerbangan India.

Skala dari gangguan ini adalah apa yang membuatnya menjadi berita utama dan memicu kemarahan publik. Laporan menunjukkan bahwa dalam waktu kurang dari seminggu, jumlah total penerbangan yang dibatalkan oleh IndiGo telah melampaui angka 4.500. Angka ini mencakup hari-hari terburuk, di mana pada puncaknya, maskapai harus membatalkan atau menunda lebih dari 1.000 penerbangan dalam satu hari—sebuah rekor suram dalam sejarah penerbangan sipil di India.

Di Delhi, simpul operasi terbesar IndiGo, terjadi pembatalan massal yang memaksa penghentian total keberangkatan domestik untuk satu hari penuh. Di bandara-bandara regional utama lainnya, daftar penerbangan yang dibatalkan terus bertambah, dengan Hyderabad, misalnya, melaporkan pembatalan lebih dari seratus layanan dalam 24 jam. Kinerja Tepat Waktu (On-Time Performance/OTP) IndiGo—yang selama ini menjadi salah satu keunggulan utama mereka—anjlok ke tingkat yang memprihatinkan, dilaporkan mencapai serendah 19,7 persen pada hari-hari awal krisis. Angka ini mencerminkan kegagalan total dalam menjaga jadwal, sebuah pukulan telak bagi reputasi maskapai yang dikenal dengan efisiensi operasionalnya.

Ada Panggilan Sayang dari Kampusmu, isi survey di sini

EDUopinions

Ribuan penumpang terdampar, banyak yang harus menunggu di terminal selama 12 hingga 24 jam. Pemandangan di bandara-bandara dipenuhi dengan kebingungan, kemarahan yang meluap, dan tumpukan koper tanpa pemilik yang berjejer di area kedatangan, menanti proses pengembalian yang kacau. Situasi ini bukan hanya merusak rencana liburan atau perjalanan bisnis, tetapi juga menimbulkan kesulitan besar bagi warga senior, keluarga dengan anak-anak, dan mereka yang memiliki janji penting, termasuk perawatan medis.

Penyebab langsung dari kekacauan ini, yang diakui oleh pihak maskapai dan regulator, adalah kekurangan kru yang dipicu oleh implementasi Batasan Waktu Tugas Penerbangan (Flight Duty Time Limitations/FDTL) yang baru dan lebih ketat. Aturan FDTL, yang diundangkan oleh Direktorat Jenderal Penerbangan Sipil (DGCA), dirancang untuk meningkatkan keselamatan dengan mengurangi kelelahan pilot dan kru penerbangan. Peraturan baru ini mencakup ketentuan seperti peningkatan periode istirahat mingguan wajib dari 36 menjadi 48 jam, pembatasan jam terbang pilot pada penerbangan yang melampaui jam malam, dan pengurangan jumlah pendaratan maksimum di malam hari.

Aturan FDTL yang baru ini seharusnya sudah diimplementasikan dalam dua fase, dan fase kedua yang lebih ketat berlaku mulai 1 November. Ini berarti IndiGo memiliki waktu yang cukup, bahkan bertahun-tahun, untuk mempersiapkan dan merekrut kru tambahan untuk menyerap dampak dari jam kerja yang lebih terbatas.

Namun, IndiGo—dan beberapa maskapai lain—diduga telah melakukan miscalculation atau salah perhitungan yang signifikan mengenai jumlah kru tambahan yang diperlukan. Dalam sebuah pertemuan dengan DGCA, maskapai mengakui adanya “kesenjangan perencanaan” dalam mengimplementasikan FDTL Fase-2, yang menyebabkan kebutuhan kru aktual melampaui perkiraan mereka. Keengganan atau kegagalan untuk merekrut pilot secara proaktif, dikombinasikan dengan jadwal musim dingin yang agresif (mereka bahkan meningkatkan jumlah penerbangan domestik dari 14.158 pada musim panas menjadi 15.014), menciptakan kondisi yang sempurna untuk bencana operasional.

Waktunya balas jasa ke almamater , isi survey di sini
EDUopinions

Ketika aturan FDTL yang baru mulai berlaku sepenuhnya dan pilot yang kelelahan harus masuk masa istirahat wajib, IndiGo tidak memiliki “buffer” kru yang memadai. Penundaan kecil dengan cepat berubah menjadi pembatalan massal karena tidak ada pilot pengganti yang tersedia untuk rotasi. Model operasional maskapai yang selama ini dikenal sebagai “tingkat utilisasi tinggi dan banyak penerbangan malam” terbukti tidak dapat bertahan di bawah rezim keselamatan yang lebih ketat.

Menurut berbagai sumber berita aspek paling mengkhawatirkan dari krisis IndiGo adalah munculnya dugaan dari asosiasi pilot bahwa kekacauan ini mungkin telah “direkayasa” oleh manajemen maskapai. Beberapa pilot veteran IndiGo mengemukakan pertanyaan kritis: jika kekurangan kru hanya sekitar 5-7% dari total, mengapa hal itu menyebabkan pembatalan ribuan penerbangan, melampaui dampak yang seharusnya hanya sekitar 110-150 penerbangan per hari?

Mereka menduga bahwa krisis ini sengaja diciptakan atau diperparah untuk menekan DGCA dan pemerintah agar menarik kembali atau memberikan pengecualian jangka panjang dari aturan FDTL yang baru. Pilot-pilot ini berpendapat bahwa IndiGo telah mengubah Prosedur Operasi Standar (SOP) mereka secara tiba-tiba—misalnya, menunda panggilan kepada kru standby hingga beberapa jam sebelum keberangkatan, atau menempatkan pesawat di bay parkir yang berjauhan untuk memperlambat waktu turnaround—semuanya dalam rangka memperburuk penundaan dan memicu kekacauan massal di bandara.

Jika tuduhan ini benar, ini adalah tindakan yang sangat tidak etis dan berbahaya, menempatkan kepentingan komersial dan profitabilitas maskapai di atas keselamatan penerbangan dan kesejahteraan penumpang. FDTL ada untuk keselamatan—untuk memastikan pilot tidak mengambil keputusan penting dalam kondisi kelelahan. Upaya untuk menyabotase implementasinya demi alasan operasional adalah pengabaian terhadap tanggung jawab inti maskapai. Kasus ini menuntut penyelidikan forensik yang mendalam untuk menentukan apakah manajemen IndiGo miskalkulasi, mismanajemen, atau memang sengaja membiarkan krisis ini meningkat.

Melihat penderitaan penumpang dan skala gangguan yang meluas, regulator penerbangan tidak bisa berdiam diri. DGCA segera mengambil langkah tegas:

  1. Pemanggilan dan Show-Cause Notice: CEO dan COO IndiGo dipanggil dan diberikan surat peringatan (show-cause notice) yang menuntut penjelasan mendalam mengenai kegagalan perencanaan, pengawasan, dan manajemen sumber daya yang menyebabkan krisis.
  2. Pembatasan Tarif: Pemerintah terpaksa mengambil tindakan untuk membatasi tarif penerbangan domestik hingga Rs 18.000 untuk mencegah maskapai lain memanfaatkan kekacauan IndiGo dengan menaikkan harga secara eksesif.
  3. Mandat Bantuan Penumpang: IndiGo diperintahkan untuk memastikan pengembalian dana (refund) otomatis dan penuh diproses dengan cepat (hingga batas waktu tertentu) dan menyediakan akomodasi hotel serta akses lounge bagi penumpang yang terdampar, terutama warga senior.
  4. Relaksasi Sementara FDTL: Dalam upaya darurat untuk membantu maskapai menstabilkan jadwalnya dan meringankan tekanan pada roster kru, DGCA sementara waktu menarik kembali atau melonggarkan beberapa ketentuan FDTL yang ketat, terutama yang berkaitan dengan istirahat mingguan. Meskipun ini membantu pemulihan operasional jangka pendek, tindakan ini menimbulkan kekhawatiran dari beberapa pihak mengenai adanya “pengenceran” standar keselamatan.

IndiGo, di sisi lain, telah memproses pengembalian dana senilai sekitar Rs 610 crore dan meyakinkan bahwa operasi akan pulih “selangkah demi selangkah.” Mereka telah memohon waktu kepada DGCA hingga Februari 2026 untuk restorasi operasional penuh. Namun, Kementerian Penerbangan Sipil menolak jangka waktu yang panjang itu dan menuntut normalisasi yang jauh lebih cepat, bahkan mengancam akan mengurangi jadwal penerbangan musim dingin IndiGo secara permanen.

Krisis IndiGo menyoroti kerentanan mendasar dalam pasar penerbangan India yang semakin terkonsentrasi. Dengan IndiGo dan Air India yang menguasai sebagian besar lalu lintas domestik (sebuah kondisi yang disebut sebagai duopoly atau duopoli), penumpang tidak memiliki banyak alternatif ketika maskapai terbesar mengalami meltdown.

Dampak meltdown ini meluas hingga ke sektor perjalanan mewah. Permintaan untuk jet pribadi dan penerbangan charter melonjak tajam, terutama di kalangan kelompok perusahaan dan pesta pernikahan yang terjebak di musim perjalanan puncak. Dalam satu kasus dramatis, sebuah jet charter bahkan harus dikerahkan untuk menjemput puluhan anak eksekutif korporat yang terdampar setelah penerbangan IndiGo mereka dibatalkan. Lonjakan permintaan ini mencerminkan sejauh mana kegagalan IndiGo telah memaksa para pelancong untuk mencari solusi alternatif yang mahal.

Kekacauan ini adalah pengingat yang menyakitkan bahwa efisiensi operasional yang ketat—seperti yang dipraktikkan oleh maskapai berbiaya rendah (LCC) seperti IndiGo—datang dengan risiko yang besar. Ketika tidak ada buffer operasional, kesalahan perencanaan kecil akan menyebabkan efek domino yang menghancurkan.

Secara fundamental, krisis ini adalah kegagalan tata kelola (governance) dan manajemen risiko. Sebuah maskapai yang berambisi menjadi kekuatan global harus mampu mengelola transisi regulasi keselamatan tanpa mengorbankan ribuan penumpang. Kepercayaan publik, yang merupakan aset paling berharga bagi maskapai mana pun, telah terkikis parah. Bagi banyak pelancong, citra IndiGo—yang selama ini identik dengan ketepatan waktu—kini telah berubah menjadi sinonim dengan kekacauan dan ketidakpastian.

Singkatnya ,Krisis IndiGo adalah kegagalan yang dapat dihindari, yang berakar pada keputusan strategis yang tidak tepat, salah perhitungan sumber daya, dan kemungkinan pengabaian yang disengaja terhadap persiapan untuk standar keselamatan baru.

Pemerintah dan DGCA telah mengambil langkah awal yang tepat dalam menangani dampak langsung melalui pembatasan tarif dan pemantauan ketat.

Krisis IndiGo bukan hanya tentang penerbangan yang dibatalkan, ini adalah pertarungan antara profitabilitas maskapai dan keselamatan publik. Keputusan untuk memprioritaskan ekspansi jadwal (profit) di atas kebutuhan istirahat kru (keselamatan) adalah inti dari masalah ini. Untuk memulihkan kepercayaan dan memastikan langit India aman, DGCA harus menetapkan standar akuntabilitas yang tinggi. Maskapai harus belajar: kesejahteraan kru bukanlah kemewahan yang bisa diabaikan, melainkan pilar tak terpisahkan dari keamanan dan efisiensi operasional. Kegagalan perencanaan di dalam IndiGo telah menciptakan malapetaka nasional, dan harganya telah dibayar mahal oleh ribuan warga negara biasa yang terdampar dalam ketidakpastian.

Sources : Al Jazeera, Gulf News, Hindustan Times, LiveMint, The Hindu, The Indian Express, The New Indian Express, Times of India

Bambang Purnomo , SS-BA, CSCA, CAVM Solution Consultant

Leave a comment

OUR PARTNER

[mc4wp_form id="491"]

[mc4wp_form id="491"]

POWER ACTION © 2025. All rights reserved.

POWER ACTION © 2025. All rights reserved.